Text dan grafis: Agung Budiarto*
Pentingnya pemahaman tentang budaya keselamatan sangat
diperlukan untuk pencegahan terjadinya insiden juga bermanfaat dalam penyusunan program dan pengembangan perilaku
positif di lingkungan Perusahaan.
Mengapa Perlu Pengembangan Budaya Keselamatan?
Dengan Budaya dapat memprediksi kinerja keselamatan (Safety Performance) serta sebagai
indikator untuk mencegah kecelakaan
kerja, membangun kepercayaan dalam organisasi, Karyawan akan menjaga dirinya
sendiri, bukan karena perusahaan, tetapi kemauan dirinya dan pada akhirnya
Keselamatan menjadi nilai yang diyakini karyawan dan perusahaan, dengan kata
lain budaya keselamatan adalah “Cara
segala hal dilakukan pada sebuah organisasi”.
(The Cullen Report), juga sebagai kombinasi dari sikap, keyakinan,
nilai, tabu, peer pressure, dan
persepsi yang diyakini perusahaan atau organisasi. (HSC, 1993), pengaruh
bagaimana segala sesuatu diselesaikan daripada yang seharusnya serta sikap atau
Budaya mempengaruhi perilaku kita, dan pada akhirnya mempengaruhi keberhasilan
pengendalian resiko.
Pengembangan Budaya Keselamatan melewati dari beberapa
tahapan seperti yang tertera pada gambar dibawah ini.
Perkembangan Budaya Keselamatan
Sejak Tahun 1980 banyak dimulai penelitian terkait konsep “Safety Culture”, Istilah “safety Culture” digunakan pertama kali oleh INSAG pada laporan Pasca Insiden Chernobyl tahun 1998 dan kebangkitan “safety culture sendiri dimulai sejak insiden ledakan kilang minyak Piper Alpha (1988) dan kebakaran stasiun bawah tanah King Cross(1987), Insiden Chernobyl (1986), Piper Alpha, dan King Cross merupakan contoh bagaimana dampak faktor manusia dan organisasi terhadap kinerja keselamatan.
Karakteristik Budaya Keselamatan dapat dijelaskan melalui tabel dibawah ini:
The Evolutionary Model of Safety Culture
Pathological
Yang dimaksud dengan Pathological adalah ; Karakter
pekerja yang rendah tingkat kepedulian
terhadap keselamatan dengan kata lain “lakukan apa saja asal kita tidak
tertangkap “, Nilai Keselamatan belum terinternalisasi sebagai nilai individu,
karyawan berperilaku selamat bukan bagian dari pekerjaan, banyak jalan singkat
/ jalan pintas dilakukan untuk menyelesaikan pekerjaan, menyembunyikan
informasi kecelakaan, mengindahkan informasi keselamatan dan perusahaan tidak
terlalu peduli terhadap Keselamatan.
Reactive
Tingkat reaktif contohnya adalah menganggap keselamatan itu penting jika
terjadi kecelakaan , Keselamatan hanya dipandang sebagai upaya mencegah
kecelakaan, Nilai “keselamatan ” sudah mulai diterima sebagai elemen penting
namun hanya bersumber dari banyaknya
kerugian akibat kecelakaan.
Calculative
Calculative disini menunjukan bahwa organisasi sudah
mempunyai sistem untuk mengatur semua bahaya namun organisasi masih beranggapan
bahwa keselamatan sebagai tanggung jawab Petugas KPLH atau Unit KPLH saja, disisi
lain keselamatan mulai diperhitungkan secara rinci dengan mengukurnya melalui
berbagai metode, ; risk assessment, cost
benefit analysis, dan metode problem solving sederhana lainnya sudah mulai
diterapkan,serta Komitmen yang tinggi dari manajemen puncak dan menengah yang
tercermin dari alokasi sumber daya yang memadai untuk program-program KPLH
ditandai dengan Kebijakan dan prosedur kerja yang telah lengkap dan tersedia.
Generative
Generatif ditandai dengan melihat “Keselamatan adalah
bagaimana cara kami menangani segala sesuatu disini”, keselamatan sudah menjadi
nilai dan terinternalisasi dalam diri setiap individu karyawan, keselamatan
telah menjadi nilai-nilai yang diyakini bersama-sama di seluruh organisasi dan
unit kerja serta Perusahaan juga melakukan
promosi KPLH tidak hanya terbatas di tempat kerja namun juga di luar tempat
kerja misalnya keselamatan di rumah ( off the job safety ).
Cara mengembangkan Budaya Keselamatan dapat di lihat pada urutan sebagai berikut:
Menentukan
Model Safety Culture
Dominic
Cooper, 2000
Identifikasi Pengaruh Budaya Keselamatan
Mengukur Budaya Keselamatan
Ada beberapa tools yang dapat di digunakan sebagai alat ukur leveling budaya keselamatan, antara lain: Safety Culture Maturity Level, Culture Based Safety dan lain sebagainya.
Evaluasi Hasil Pengukuran:
Menginterpretasikan hasil pengukuran Budaya
Keselamatan dari berbagai alat ukur bisa membuat kebingungan dikarenakan setiap alat ukur punya keunikan tersendiri
disini dibutuhkan agar Evaluator harus mengerti terlebih dahulu “apa” yang
ingin diukur dan alat apa yang terbaik untuk menilai Safety Culture
tersebut.Namun dengan menggunakan beberapa alat ukur untuk mengukur “Budaya
Keselamatan” positifnya bisa didapatkan Profil Safety Culture yang saling
melengkapi.
Mengembangkan Budaya Keselamatan.
Ketika ditemukan kelemahan terhadap penerapan budaya
keselamatan yang harus diamati adalah
adalah “perubahan atau Follow up”nya. Dengan alat ukur yang tepat akan
didapatkan strategi pengembangan dan formulasi action plan selanjutnya.Action
Plan harus realistis dan dapat dijelaskan untuk ditujukan sebagai perbaikan
indikator budaya keselamatan yang mana action Plan terbaik akan mencakup visi
misi organisasi serta terhubung langsung dengan tanggung jawab Manajer atau
Pimpinan Organisasi.Tindakan perbaikan harus dilakukan sesegera mungkin setelah
pengukuran, dilakukan untuk menjaga momentum yang ada. Terimakasih
*Penulis adalah pengajar Staff Pengajar PT Allsys Solutions.