Jakarta– Indonesia, negara dengan cadangan nikel terbesar dunia, kembali menjadi sorotan akibat maraknya impor bijih nikel. Padahal, pemerintah tengah gencar mendorong hilirisasi industri nikel untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam.
Plt. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian
ESDM, Bambang Suswantono, membantah adanya isu signifikan terkait impor bijih
nikel saat ini. Menurutnya, permasalahan tersebut sudah teratasi. "Itu
(impor nikel) yang lalu. Itu yang lalu," tegas Bambang.
Pernyataan Bambang ini cukup mengejutkan mengingat data Badan Pusat
Statistik (BPS) menunjukkan lonjakan signifikan impor bijih nikel dalam
beberapa tahun terakhir, terutama dari Filipina. Salah satu perusahaan pengolahan
nikel di Kalimantan, PT Kalimantan Ferro Industry (KFI), bahkan mengakui telah
mengimpor 51.000 ton bijih nikel dari negara tetangga tersebut pada tahun ini.
Alasan di balik impor ini beragam, mulai dari belum selesainya proses
penerbitan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) bagi beberapa perusahaan
tambang hingga upaya untuk menjaga kelangsungan operasional pabrik pengolahan.
RKAB Jadi Kendala
Keterlambatan penerbitan RKAB kerap menjadi kendala bagi perusahaan
tambang dalam memasok bijih nikel ke smelter. Padahal, pemerintah telah
menetapkan kuota produksi bijih nikel sebesar 240 juta ton per tahun.
Direktur Utama PT Nityasa Prima, Muhammad Ardhi Soemargo, menjelaskan
bahwa pihaknya terpaksa mengimpor bijih nikel dari Filipina untuk memenuhi kebutuhan
smelter di Kalimantan Timur. "Ketika tambang belum ada RKAB maka kami gak
bisa beli," ujarnya.
Impor Mengkhawatirkan
Maraknya impor bijih nikel ini menimbulkan kekhawatiran akan terhambatnya
program hilirisasi nikel yang tengah digalakkan pemerintah. Pasalnya, impor
berarti mengurangi nilai tambah yang seharusnya diperoleh dari pengolahan nikel
di dalam negeri.
Selain itu, impor juga berpotensi mengganggu stabilitas pasokan bijih
nikel bagi industri dalam negeri. Terlebih lagi, Indonesia memiliki ambisi
untuk menjadi produsen produk nikel bernilai tambah tinggi, seperti baterai
kendaraan listrik.
Tantangan ke Depan
Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan
hilirisasi nikel. Birokrasi yang rumit dan lambatnya proses perizinan menjadi
salah satu faktor yang menghambat perkembangan industri pertambangan dalam
negeri.
Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat pengawasan terhadap
aktivitas impor bijih nikel untuk mencegah terjadinya praktik-praktik yang
merugikan negara. Dengan demikian, program hilirisasi nikel dapat berjalan
dengan optimal dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat
Indonesia.