Hartono*
Akhirnya kami tiba di pinggir hutan,
setelah berjalan kaki berhari-hari keluar masuk belantara dan mendaki
berhari-hari sejak meninggalkan camp induk, di ketinggian 2.500 mdpl.
Lamat-lamat terdengar suara orang bicara beberapa tindak di depan kami. Mereka
tak terlihat karena terlindung semak-semak.
Salah satu pekerja lokal yang menyertai
perjalanan segera memberi isyarat berhenti. Beberapa lelaki ber-koteka muncul
menghadang. Rupanya kami sudah di pemukiman warga yang disebut Aut Pasik.
Pemandu berbicara kepada mereka. Kemudian dia menoleh ke arah saya dan berkata.
“Katong dilarang melintas, Bapak,” kata si
pemandu bicara dalam dialek Papua.
Saya penasaran dan meminta dia melobi
orang-orang kampung tersebut agar kami diizinkan melintas. Sebab perjalanan
kami masih jauh, yaitu menuju camp berikutnya di ketinggian 4.200 mdpl, arah
Papua Nugini, ke dekat tambang Ok Tedi.
Ok Tedi sebenarnya adalah nama sebuah
sungai di Western Province, Papua Nugini (PNG). Sungai tersebut adalah anak
dari sungai Fly River yang mengalir dari Utara ke Selatan Western
Province. Nah, tambang yang saya maksud
terletak persis di hulu sungai Ok Tedi. Airnya bersumber dari Pegunungan Star,
yang memisahkan wilayah Indonesia dan PNG. Bahkan hampir satu kilometer badan
sungai itu melintasi perbatasan, masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
“Adoh, tra bisa Bapak..”
“Kalau kita tetap memaksa melintas?”
“Dorang akan bunuh katong, Bapak.”
Saya bergidik. Ancamannya ngeri! Wes angel
iki gumam saya dalam hati. Padahal rencananya, jika kami berhasil sampai ke
camp terakhir, maka hanya perlu waktu dua hari lagi berjalan kaki untuk sampai
ke air strip di Tinibil. Dari sana rencananya saya akan naik pesawat terbang
menuju Sentani dan kembali lagi ke atas dengan helikopter lagi.Tinibil adalah
kota kecil di Distrik Oksamol. Ini adalah distrik terjauh dari kota Kabupaten
Pegunungan Bintang yang berada persis di perbatasan Indonesia dengan negara
PNG. Jaraknya hanya satu hari berjalan kaki. Sedangkan Kabupaten Bintang adalah
kabupaten tertinggi di Papua. Jika malam hari suhunya bisa turun 15-10 derajat
Celcius.
Kanan-kiri adalah puncak-puncak gunung yang
menyeruak dari lebatnya hutan belantara. Cuaca sama sekali tak bisa diramalkan.
Biasanya kabut turun pada pukul 10 pagi, tetapi sebentar kemudian sudah
berganti hujan atau gerimis.
Syukurlah malam itu kami diizinkan
menginap, dan sebelum fajar terbit sudah harus angkat kaki, kembali ke camp
induk. Artinya harus berjalan kaki lagi selama empat hari.
***
Bukan explorer geologist tambang namanya
jika tak pernah bekerja di remote-remote area seperti saya. Tahun-tahun itu
semua fasilitas sangat terbatas. Komunikasi hanya menggunakan Single Side Band
(SSB) atau dengan telepon satelit. Paling sering bermalam di camp-camp darurat
dan selalu berpindah-pindah tempat.
Kami harus berjalan kaki selama satu minggu
untuk sampai ke tujuan. Sesekali ada helikopter untuk mengantar dan menjemput
ke lokasi. Pernah juga minta bantuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) jika
keadaan darurat. Jadwal roster (waktu kerja karyawan) kami enam minggu di dalam
lokasi, dan dua minggu libur. Tak usah saya ceritakan bagaimana remuknya rasa
badan, ketika akan istirahat malam.
Sebagai seorang individu, tiap-tiap orang
pasti memiliki sejarah masa lalu, dan sejarah itu mempengaruhi kehidupannya di
suatu saat kemudian. Demikian juga saya, yang apabila waktu itu salah mengambil
keputusan, entah bagaimana hidup saya dapat diceritakan.
Di masa-masa awal saya bekerja sebagai
geologist dengan Kontrak Waktu Tertentu di PT Aneka Tambang (Antam) di
Trenggalek, Jawa Timur, saya terlibat perselisihan dengan Manajer Eksplorasi
yang memimpin kami. PT Antam Tbk adalah anak perusahaan BUMN pertambangan
Inalum milik pemerintah Indonesia. Saya ditugaskan sebagai perencana pengeboran
dan wellsite geologist.
Saya tak terima dipersalahkan, sedangkan
saya sudah melakukan tugas dengan baik. Manajer marah besar, saya juga tak
kalah emosi. Untung tak sampai memaki. Karena tak terima, hari itu juga saya
ingin berhenti bekerja. Tapi sampai malam saya masih memberikan kesempatan
kepada diri untuk membuat keputusan keesokan harinya. Tetap bersama tim
tersebut atau cabut saja! Padahal selama ini saya tidak pernah bertele-tele
dalam membuat keputusan. Semalaman saya berpikir. Selain itu saya juga meminta masukan senior
di tim eksplorer tersebut. Saya terpesona, pagi itu hati dan pikiran saya
menuntun untuk meminta maaf.
Pada suatu hari PT Antam membuka lowongan untuk geologist dan
saya diminta mendaftar. Tak disangka dan tak diduga, manajer yang pernah ribut
dengan saya itulah yang memberi rekomendasi dan penilaian istimewa, sehingga
saya diterima sebagai pegawai tetap di PT Antam. Keputusan saya waktu itu
mempengaruhi kehidupan dan karier saya hingga hari ini. Kata maaf, hanya empat
huruf, tapi teramat sangat berarti.
***
Saya lahir tiga bulan setelah Gunung Merapi
meletus, 49 tahun silam di Desa Jemowo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
Sekitar 200 orang tewas akibat bencana tersebut. Tiga bulan setelah kelahiran
saya, tepatnya 28 Maret 1973 merapi batuk-batuk lagi, memamerkan hujan abu dan
wedhus gembel yang bikin ngeri. Baca selengkapnya di sini
** Naskah ini merupakan salah satu kisah dalam buku berjudul 100 Anak Tambang Indonesia, buku yang meraih 2 rekor Musium Rekor Dunia-Indonesia (MURI) tahun 2021