BOGOR - Kesadaran terhadap keselamatan atau safety masih perlu ditingkatkan lagi agar menjadi budaya dan nilai bagi para pekerja di Indonesia.
Demikian topik diskusi Safety Sharing Session (S3) dengan tema Safety Mindset Value yang diselenggarakan oleh Asosiasi Profesi Keselamatan Pertambangan Indonesia (APKPI) via zoom meeting, Rabu, 22 September 2021 malam.
Sebagai pembicara Rusdi Husin Kadiv HSE & Risk Management PT Adaro Energy, Neneng Churairoh Kadiv ESH System Specialist PT J Resources dan Feri Indrayana Kepala Teknik Tambang PT Berau Coal.
Diskusi yang diikuti kurang lebih 230 orang itu dibuka oleh Direktur APKPI Alwahono dan dimoderatori Dewan Pengawas APKPI Eko Gunarto.
“Safety bukan lagi menjadi prioritas. Sebab prioritas bisa berubah. Karena itu safety harus menjadi nilai dalam kehidupan kita. Untuk itu safety sudah harus menjadi budaya pekerja di Indonesia,” kata Alwahono.
Dia juga berharap diskusi mengenai safety seperti ini dapat dilaksanakan secara kontinyu, khususnya dalam dunia industri pertambangan dalam rangka menjadikannya sebagai nilai yang melekat dalam budaya kerja di Indonesia.
Sementara itu Rusdi mengatakan budaya keselamatan bisa terbentuk apabila ada peran dari sosok pemimpin yang mengutamakan safety dalam sistem organisasi. Pemimpin ibarat koki yang memasukan safety sebagai resep mutlak dalam jamuan makanan. Peran safety tidak boleh dikesampingkan karena prinsipnya fundamental mempengaruhi kinerja karyawan.
Menurutnya, ada cara berpikir kurang tepat digunakan oleh perusahaan dalam mengukur keselamatan kerja. Rusdi mengutarakan disaat ada perusahaan yang menggaungkan nol kecelakaan kerja tetapi ada indikator dalam KPI (Key Performance Indicator) angka kecelakaan.
Dia memaparkan ada sejumlah perusahaan menentukan maksimal 2 kecelakaan kerja di kpi. Apabila hanya mencentang satu pernah mengalami kecelakaan kerja berarti kinerja keselamatan baik dan karyawan bisa mendapatkan bonus.
"Saya khawatir di satu sisi kita menggaungkan zero accident tapi ada perusahaan yang menetapkan indikator angka kejadian kecelakaan. Itu kontradiksi, tidak boleh kecelakaan lebih dari 2 angka," ujarnya.
Neneng Churairoh mengatakan keselamatan sudah ada di pola pikir tidak hanya di pekerjaan tetapi keseharian di rumah juga. Budaya keselamatan bukan timbul saat bekerja tetapi dimulai sejak dini karena bermanfaat saat bekerja.
"Safety itu terbentuk dari kompetensi personal. Secara personal, budaya keselamatan meliputi nilai, perilaku dan ketertarikan. Kompetensi itu bisa dilatih. Harus berulang kali, memang membosankan tetapi akan menempel terus keselamatan di kepala kita," kata Neneng.
Feri Indrayana mengatakan membangun budaya keselamatan dimulai dari sosok pemimpin. Dia kemudian mengajak karyawannya agar menerapkan budaya keselamatan pula.
Budaya keselamatan, kata Feri, adalah tentang kepercayaan, cara berpikir, pendidikan dan pengalaman. Misalnya, orang Singapura sudah menyebarkan nilai kebersihan sehingga siapapun datang ke Singapura tidak berani menghisap dan membuang puntung rokok sembarangan.
"Mulai dari diri kita sendiri. Saya punya pengalaman, saat naik taxi misalnya supir membawa kecepatan hingga 110 Km/jam jalan tol. Padahal, hanya boleh 80 Km/jam. Saya hanya bisa bilang hati-hati kepada driver," tuturnya.
Salah satu peserta S3, Radyan Prasetiyo mengatakan bahwa jika di negara lain seperti Amerika Serikat dan Australia yang memiliki local wisdom (kearifan lokal), maka Indonesia juga perlu mengangkat local wisdom sebagai cara deteksi dini keselamatan kerja.
"Indonesia punya local wisdom, jangan keluar sore-sore menjelang magrib, menyeberang liat kiri kanan, dan turun mobil pakai kaki kiri. Mungkin kita masih kurang literatur jadi perlu penelusuran lebih lanjut," kata dia.
Selain itu, dia melihat konsep keselamatan kerja bisa dikelola untuk perusahaan tambang yang baru berdiri tidak hanya perusahaan tambang tambang besar.